Laman

Jumat, 14 Oktober 2011

contoh laporan karya tulis




HAK-HAK TERSANGKA DALAM PERKARA PIDANA





 



 





LAPORAN KARYA ILMIAH KEGIATAN INDIVIDU
MAHASISWA KULIAH KERJA NYATA (KKN) PROFESI INTEGRAL
UNIVERSITAS TADULAKO
                                                DESA                      : PEBOUNANG
                                                KECAMATAN       : PALASA
                                                KABUPATEN        : PARIGI MOUTONG

Dianjukan untuk memenuhi salah satu syarat
Pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata ( KKN) Profesi Integral Universitas Tadulako Angkatan 59
Tahun 2010

Di Susun Oleh :

ABD. JALIL H.FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TADULAKO
2010P
D. 101 06 341




FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TADULAKO
2010



HALAMAN PENGESAHAN


Nama               : Abd. Jalil H.Pulumoduyo
Stambuk          : D. 101 06 341
Fakultas           : Hukum
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata ( KKN) Universitas Tadulako Angkatan 59
 Tahun 2010


                                                                             

Palu, 10 Mei 2010

Dosen Pembimbing



  Andi Bustamin S.H., M.H
Nip. 19681007 2001112 1 002



KATA PENGANTAR


            Puji Syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Yang mana telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga laporan karya ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu. Laporan ini di susun berdasarkan hasil pengamatan di lapangan serta wawancara langsung dengan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pelaksanaan di lapangan. Laporan  karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat dalam pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Mahasiswa Universitas Tadulako.
            Dalam penyusunan laporan tak sedikit hambatan yang kami alami selain kekurangan yang kami miliki, namun atas bantuan dari semua pihak yang terlihat dalamnya maka pada akhirnya laporan ini bisa kami selesaikan.
            Ucapan terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada :
  1. Bapak Rektor Universitas Tadulako
  2. Bapak Supriadi,SH, M.Hum, selaku pembantu Rektor III Universitas Tadulako.
  3. Bapak Ahmad Al-Amri Selaku Ketua P2KKN
  4. Bapak Ahmad Alamri, SE. selaku Kepala Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Tadulako.
  5. Bapak Jamaludin Sakung S.Pd. M.Kes. Selaku Dosen Pembimbing yang senantaiasa membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan KKN dan tulisan ini.
  6. Bapak Rasmin selaku kepala Desa Pebounang yang selama ini membantu penulis dalam menyelesaikan Kuliah Kerja Nyata.
  7. Bapak/Ibu Panitia Pelaksanaan KKN Profesi Integral Universitas Tadulako angkatan 59 tahun 2010
  8. Serta teman-teman seperjuangan pada KKN Profesi Integral Angkatan 59 tahun 2010 Desa Pebounang, Moh. Alan, Agus Salim, Qurais, dan Febrianto, yang selalu memberkan bantuan dan dukungan pada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih memiliki banyak kekurangan, oleh karenanya saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan Laporan Karya Ilmiah ini sangat kami harapkan.
      Semoga laporan karya ilmiah ini dapat bermanfaat untuk waktu kedepan bagi kelanjutan mahasiswa KKN untuk angkatan yang berikutnya



           Penulis, 10 Mei 2010


      Abd. Jalil H. Pulumoduyo
                D. 101 06 341




BAB I
PENDAHULUAN

A.                 Latar Belakang
Hukum Acara Pidana Indonesia sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981, tentang KUHAP, merupakan suatu peraturan yang memuat tentang bagaimana caranya aparat penegak hukum : Polisi, Jaksa, Hakim dan Penasehat hukum menjalankan wewenangnya menegakkan hukum pidana materiil (KUHP). Para penegak hukum harus memperhatikan dua kepentingan hukum secara berimbang yaitu kepentingan perorangan (Hak seseorang) dengan kepentingan masyarakat dalam suatu proses beracara pidana.
Berdasarkan tujuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang antara lain yaitu (1) Mencari kebenaran sejati, (2) Melakukan pemeriksaan perkara pidana yang didasarkan atas hukum, keyakinan dan rasa keadilan masyarakat dan, (3) melaksanakan putusan atau eksekusi terhadap tersangka yang diputus bersalah.
Berdasarkan pada tujuan HAP diatas, kiranya persoalan sistem pemeriksaan terhadap tersangka akan membawa pengaruh besar terhadap pencapaian tujuan dimaksud. Dalam konteks ini, KUHAP membagi dua sistem pemeriksaan yang dilakukan terhadap tersangka/terdakwa yaitu : (a) pemeriksaan permulaan (pendahuluan) yang dilakukan oleh kepolisian/penyidik dan (b) pemeriksaan persidangan yang dilakukan oleh hakim. Dalam sistem pemeriksaan permulaan, ketentuan KUHAP menganut azas pemeriksaan Inquisitor Lunak artinya bahwa dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik terhadap tersangka boleh didampingi oleh Penasehat Hukum yang mengikuti jalannya pemeriksaan secara pasif yakni Penasehat hukum diperkenankan untuk melihat, mendengar dan memberikan petunjuk dalam proses pemeriksaan terhadap tersangka. Dalam praktek, pemeriksaan dalam sistem Inquisitor Lunak ini, tersangka boleh meminta kepada Penasehat Hukum penjelasan-penjelasan tentang maksud dari pertanyaan-pertanyaan dari penyidik, terutama terhadap pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya “menjerat”. Atas dasar sistem di atas, maka tersangka dalam proses pemeriksaan pendahuluan (Pasal 52 dan 184 (1) KUHAP) tidak diperlakukan sebagai Terdakwa (obyek) yang harus diperiksa, melainkan tersangka dilakukan sebagai subyek, yang artinya tersangka tidak dapat dipaksa untuk mengaku bersalah dengan cara paksaan, tekanan ataupun ancaman-ancaman. Ketentuan ini jelas terdapat dalam pasal di atas (Pasal 52 dan 184 ayat 1) KUHAP, yang intinya menyatakan bahwa tujuan pemeriksaan pendahuluan oleh penyidik tidak untuk mendapatkan pengakuan tersangka tetapi untuk mendapatkan keterangan tersangka mengenai peristiwa pidana yang dipersangkakan kepadanya.
Dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Pokok Kehakiman dan Undang-Undang no. 8 tahun 1981, tentang KUHAP (pasal 5 s/d pasal 8) dinyatakan hak-hak asasi manusia harus dijunjung tinggi dan mendapatkan perlindungan dalam Negara yang berdasarkan Pancasila dan dilaksanakan oleh aparat penegak hukum. Diantara azas-azas tersebut, terdapat satu azas yaitu azas praduga tak bersalah atau (Presumption of innocent). Azas ini pada dasarnya menyatakan “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka persidangan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya yang memperoleh kekuatan hukum tetap”. Maksud dari tujuan azas tersebut dapat diterangkan bahwa sebelum seseorang tersangka/terdakwa harus dan wajib diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah. Oleh karena itu, hak-hak tersangka, harkat dan martabat tersangka sebagai manusia harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh petugas penyidik. Dalam Konteks ini, proses interogasi/menggali keterangan dari tersangka, tidak boleh dilakukan dengan melanggar hak-hak tersangka, apalagi melanggar harkat dan martabat tersangka sebagai manusia. Persoalannya sekarang adalah dapatkah penyidik dalam melakukan pemeriksaan permulaan benar-benar menjunjung tinggi hak-hak tersangka serta harkat dan martabatnya ? Sebagaimana kita amati di berbagai media massa, sering terungkap perlakuan oknum-oknum polisi bertindak kasar dan cenderung dapat melukai tersangka ketika melakukan proses pemeriksaan terhadap tersangka.

B.                  Rumusan Masalah
Dari Hasil Observasi dan pemaparan di atas penulis menemukan permasalahan
1.      Apakah yang menjadi Hak Tersangka Dalam Proses Penyidikan?
2.      Bagaimanakah Sistim Peradilan Pidana dan HAM?
3.      Seperti apakah Peran Lembaga Peradilan dan Pengacara?
4.      Bagaimanakah Proses Peradilan Pidana?
C.                  Tujuan dan Kegunaan Kegiatan
1.      Tujuan Kegiatan
              Mengacu pada permasalahn di atas, adapun tujuan yang ingin dicapai adalah :
-              Untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang Hukum Acara Pidana khususnya Hak-hak tersangka.
-              Untuk membantu aparat kepolisian dalam sosialisasi Hukum acara Pidana.
2.      Kegunaan Penulisan
Adapun kegunaan dari kegiatan ini adalah :
o   Kiranya dapat menjadi bahan masukan bagi kepolisian Polsek Kecamatan Palasa.
o   Sebagai bahan informasi bagi organisasi-organisasi dan masyarakat umum khususnya Desa Pebounang.
o   Sebagai bahan acuan atau masukan bagi pembaca atau yang berminat dengan topik ini untuk dilakukan penelitian lebih lanjut.


D.           Metode Penulisan
Dalam penyusunan karya tulis ini, penulis akan menggunakan metode penilitian kepustakaan (Libarary Research) yaitu dengan menelusuri litreratur yang berkenaan topik, serta memadukan bahan-bahan hukum yang terdiri  atas :
1.      Bahan Hukum primer
Yaitu bahan yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan serta dokumentasi resmi pemerintah.
2.      Bahan Sekunder
Yaitu bahan hukum yang erat kaitanya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa bahan hukum primer. Bahan ini dari buku-buku (literature), RUU, hasil karya tulis ilmiah dan lain sebagainya.
3.      Bahan Hukum Tertier
Yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder dapat berupa kamus dan ensklopedia hukum.












BAB II
PENGETAHUAN UMUM TENTANG HAM DAN PRAKTEK PENANGKAPAN TERSANGKA PELAKU TINDAK PIDANA
A.       Hak Asasi Manusia
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan pokok kaidah negara yang fundamental (staatsfundamentalnorm), yaitu adalah serangkaian norma atau kaidah yang menjadi landasan pembentukan dan penyelenggaraan negara yang paling
mendasar. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dikatakan demikian oleh karena memuat norma atau kaidah hukum yang bersifat mendasar yang menjadi landasan bagi pembentukan dan penyelenggaraan Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Sifat mendasar atau fundamental dari norma hukum pokok itu dalam konteks hukum mempunyai hakikat dan kedudukan yang tetap, kuat
dan tak berubah bagi negara yang dibentuk dengan kata lain, dengan jalan hukum tidak dapat diubah.
Keberadaan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai pokok kaidah fundamental negara mengandung prinsip-prinsip yang paling mendasar sistem hukum negara. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, alinea 4 dapat dirumuskan sebagai tujuan Negara Indonesia yang dikenal sebagai cita hukum (rechts idee), yang berbunyi :
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudakan suatu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, maka diperlukan sebuah sistem hukum yang mengatur mengenai tingkah laku di antara warga negaranya yang termuat dalam hukum pidana. Hukum kepidanaan yakni sistem aturan yang mengatur semua perbuatan yang tidak boleh dilakukan (yang dilarang untuk dilakukan) yang disertai sanksi yang tegas bagi setiap pelanggar aturan pidana tersebut serta,
tata cara yang harus dilalui bagi pihak yang berkompeten dalam penegakannya. Hukum acara pidana merupakan perangkat hukum pidana yang mengatur tata cara penegakan hukum pidana materiil. Artinya, apabila terjadi pelanggaran hukum pidana materiil, maka penegakannya menggunakan hukum pidana formal. Dengan kata lain, bahwa hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang bagaimana para penegak hukum serta masyarakat dalam beracara di muka pengadilan pidana.  Berkaitan dengan penegakan tersebut, maka peran aparat penegak hukum menjadi sangat penting. Hal ini dikarenakan hukum acara pidana melegalkan setiap tindakan-tindakan dari aparat penegak hukum terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana dengan merampas kemerdekaannya. Perampasan tersebut sekali lagi dilegalkan, oleh karena itu legalitas tersebut harus diwujudkan pada suatu aturan yang jelas untuk meminimalisir tindakan-tindakan perampasan kemerdekaan di luar aturan tersebut. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah aturan yang melegalkan tindakan-tindakan aparat penegak hukum tersebut, oleh karena itu, KUHAP dapat dijadikan panduan untuk melaksanakan setiap tindakan aparat penegak hukum yang sebenarnya adalah merampas kemerdekaan manusia. Tindakan yang merupakan perampasan kemerdekaan tersebut di antaranya adalah penangkapan dan penahanan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana.



B.        PRAKTEK PENANGKAPAN TERSANGKA PELAKU TINDAK PIDANA
Penangkapan dalam Pasal 1 butir 20 KUHAP dinyatakan sebagai suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta cara yang diatur oleh undang-undang. Hakekatnya, setiap pengekangan seseorang adalah
perampasan kemerdekaan, oleh karena itu pengekangan dalam penangkapan tersebut adalah perampasan Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, tindakan pengekangan tersebut telah dilegalkan dengan syarat dan tatacara sebagaimana diatur dan tunduk pada peraturan yang melegalkan tindakan tersebut.
Syarat dapat dilakukan penangkapan tersebut di antaranya adalah dilakukan oleh aparat penegak hukum yang berwenang yaitu penyidik, penyidik pembantu serta penyelidik atas perintah penyidik, dengan ketentuan adanya cukup bukti, dan dengan tata cara yang diatur oleh undang-undang. Dengan demikian penyidiklah yang memegang peranan penting dalam penangkapan. Hal ini berarti, apabila tindakan penyidik yang melakukan penangkapan di luar syarat dan tata cara aturan yang berlaku, maka dapat dikatakan bahwa tindakan perampasan HAM yang dilegalkan tersebut tidak terpenuhi. Konsekuensi atas tindakan penangkapan tersebut adalah ilegal, oleh karena itu dapat dikatakan sebagai pelanggaran HAM. Beberapa kasus salah tangkap menjadi perhatian masyarakat saat ini telah menimbulkan dilematika tersendiri bagi aparat penegak hukum. Banyak sekali di media massa diberitakan mengenai kasus-kasus salah tangkap yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Seperti pada kasus salah tangkap Kemat dan Devid yang terjadi di Jawa Timur, itu merupakan pelajaran
berharga bagi penegak hukum yang mana mereka dituduh sebagai pembunuh Asrori. Kesalahan yang terjadi dalam penangkapan tersebut tentu menjadi hal yang sangat perlu menjadi perhatian, karena hal tersebut terkaitan dengan hak seseorang untuk hidup bebas atau merdeka tanpa adanya pengekangan. Status sosial dan stigma masyarakat juga kerap kali melekat pada orang yang pernah ditangkap meskipun orang tersebut belum tentu bersalah. Asas presumption of innocencent (praduga tak bersalah) masih belum dipahami dan disadari oleh
aparat penegak hukum, lebih-lebih masyarakat pada umumnya. Begitu pula asas Akusatur yang menempatkan tersangka atau terdakwa bukan sekedar menjadi obyek pemeriksaaan namun sebagai subyek dengan hak-hak yang melekat padanya, oleh karena itu pengakuan tersangka atau terdakwa bukan lagi menjadi bukti terpenting seperti masa HIR dulu yang memaksa tersangka atau terdakwa untuk mengaku bahkan dengan cara memaksa menggunakan kekerasan (asas inkuisitor). Dalam konteks HAM, dapat disimpulkan bahwa hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tidak dapat dilepaskan dari manusia pribadi, karena tanpa hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia yang bersangkutan kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. Perlindungan mengenai hak asasi manusia tersebut oleh Negara Republik Indonesia termasuk Pemerintah berkewajiban, baik secara hukum maupun politik, ekonomi, sosial dan moral, untuk melindungi dan memajukan serta mengambil langkah-langkah konkret demi tegaknya hak asasi manusia dan kebabasan dasar manusia. Perlindungan tersebut diperuntukkan bukan hanya bagi warga masyarakat pada umumnya, melainkan juga perlindungan hak asasi manusia diperuntukkan bagi para pelaku tindak pidana. Hal itu dikarenakan bahwa setiap orang mempunyai hak-hak dasar yang harus dilindungi oleh negara dan pemerintah.
Dengan demikian, penangkapan dalam konteks HAM harus dikaitkan dengan perlindungan negara terhadap orang yang ditangkap baik secara teoritis maupun praktiknya. Aparat penegak hukum dituntut untuk memenuhi ketentuan yang berlaku untuk dapat dikatakan tidak melakukan pelanggaran HAM, baik berkaitan dengan prosedur dan hak-hak orang yang ditangkap serta keluarganya.



BAB III
PEMBAHASAN


A.           HAK TERSANGKA DALAM PROSES PENYIDIKAN
1.      Hak Tersangka untuk didampingi Penasehat Hukum
Warga negara yang menjadi tersangka berhak untuk didamping oleh Penasehat Hukum. Untuk kepentingan pembelaan dalam proses peradilan pidana seorang warga negara yang menjadi tersangka berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan (pasal 54 KUHAP).Selain itu seorang tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasehat hukumnya (pasal 55 KUHAP).
Bagi tersangka atau terdakwa yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka. (pasal 56 ayat (1) KUHAP). Pemberian bantuan hukum oleh penasehat hukum tersebut diberikan kepada tersangka atau terdakwa secara cuma-cuma (pasal 56 ayat (2) KUHAP).
Jika tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana dikenakan penahanan, maka dia berhak untuk menghubungi penasehat hukumnya ( Pasal 57 KUHAP ayat (1) KUHAP). Selain itu berdasarkan ketentuan pasal 37 Undang –Undang Nomor 4  tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, setiap orang yang tersangkut perkara berhak mendapatkan bantuan hukum. Bantuan hukum dalam pasal ini diberikan oleh seorang penasehat hukum atau saat ini lebih dikenal dengan “advokat”. Dan menurut ketentuan pasal 38  Undang –Undang Nomor 4  tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan advokat.
2.      Penangkapan
Definisi penangkapan menurut pasal 1 butir 20 KUHAP adalah “suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan.
Jangka waktu penangkapan hanya berlaku paling lama untuk jangka waktu 1 hari (24 jam). Sebelum  dilakukan suatu penangkapan oleh pihak kepolisian maka terdapat syarat materiil dan syarat formil yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan syarat materiil adalah adanya suatu bukti permulaan yang cukup bahwa terdapat suatu tindak pidana. Sedangkan syarat formil adalah adanya surat tugas, surat perintah penangkapan serta tembusannya. Apabila dalam waktu lebih dari 1 x 24 jam, tersangka tetap diperiksa dan tidak ada surat perintah untuk melakukan penahanan, maka tersangka berhak untuk segera dilepaskan.
Perintah penangkapan menurut ketentuan pasal 17 KUHAP dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Berdasarkan penjelasan pasal 17 KUHAP, definsi dari “bukti permulaan yang cukup”ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan ketentuan pasal 1 butir .Pasal ini menunjukan bahwa perintah penagkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana. 
Disamping itu ada pendapat lain mengenai “bukti permulaan yang cukup” , yaitu menurut Darwan Prints,SH, dalam bukunya Hukum Acara Pidana dalam praktek, Penerbit Djambatan dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, cetakan revisi tahun 2002, halaman 50-51, bukti permulaan yang cukup adalah  :
Menurut Surat Keputusan Kapolri  SK No. Pol. SKEEP/04/I/1982.
Kapolri dalam surat keputusannya No. Pol.SKEEP/04/I1982,tanggal 18 Februari menentukan bahwa, bukti permulaan yang cukup itu adalah bukti yang merupakan keterangan dan data yang terkandung di dalam dua di antara:
·         Laporan Polisi;
·         Berita Acara Pemeriksaan di TKP;
·         Laporan Hasil Penyelidikan;
·         Keterangan Saksi/saksi ahli; dan
·         Barang Bukti.
Yang telah disimpulkan menunjukan telah terjadi tindak pidana kejahatan (Din Muhamad, S.H.1987 : 12)
Menurut drs. P. A. F Lamintang, SH Bukti permulaan yang cukup dalam rumusan pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai bukti-bukti minimal, berupa alat-alat bukti seperti dimaksud dalam Pasal 184 (1) KUHAP, yang dapat menjamin bahwa Penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikannya terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak pidana setelah terhadap orang tersebut dilakukan penangkapan (drs.P.A.F.Lamintang,SH.1984 : 117).
Menurut Rapat Kerja MAKEHJAPOL tanggal 21 Maret 1984
Bukti permulaan yang cukup seyogyanya minimal: Laporan Polisi ditambah salah satu alat bukti lainnya (Din Muhamad, S.H.1987 : 12).
Adapun pihak yang berwenang hak melakukan penangkapan menurut KUHAP adalah :
3.      Penyidikan
Penyidik yaitu :
·         Pejabat polisi Negara RI yang minimal berpangkat inspektur Dua (Ipda).
·         Pejabat pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus UU, yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b atau yang disamakan dengan itu).
Penyidik pembantu, yaitu :
·         Pejabat kepolisian Negara RI dengan pangkat minimal brigadier dua (Bripda).
·         Pejabat pegawai negeri sipil di lingkungan kepolisian Negara RI yang minimal berpangkat Pengatur Muda (Golongan II/a atau yang disamakan dengan itu).
Kecuali tertangkap tangan melakukan tindak pidana, warga negara berhak menolak penangkapan atas dirinya yang dilakukan oleh pihak diluar ketentuan diatas.
Warga negara yang diduga sebagai tersangka dalam peristiwa pidana berhak melihat dan meminta surat tugas dan surat perintah penangkapan terhadap dirinya. Hal ini sebagaimana  ketentuan pasal 18  ayat (1) KUHAP yang menyatakan :
“Pelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa”.
Saat dilakukan penangkapan terhadap tersangka, tersangka berhak bebas dari segala tindakan penyiksaan ataupun intimidasi dalam bentuk apapun dari aparat yang menangkapnya.
Keluarga tersangka berhak untuk mendapat  tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) KUHAP, segera setelah penangkapan terhadap tersangka dilakukan.
4.      Penahanan
Definisi Penahanan  sebagaimana ketentuan pasal 1 butir (21) KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-undang ini. Pada prinsipnya penahanan adalah pembatasan kebebasan  bergerak seseorang yang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang harusnya dihormati dan dilindungi oleh negara.
Namun, penahanan yang dilakukan terhadap tersangka/terdakwa oleh pejabat yang berwenang dibatasi oleh hak-hak tersangka/terdakwa dan peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan secara limitatif sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP.
Adapun pihak-pihak yang berwenang melakukan penahanan dalam berbagai tingkat pemeriksaan sebagaimana ketentuan pasal 20 KUHAP antara lain : 
1.      Untuk kepentingan penyidikan, yang berwenang melakukan penahanan adalah penyidik;
2.      Untuk kepentingan  penuntutan, yang berwenang adalah penuntut umum;
3.      Untuk kepentingan pemeriksaan disidang Pengadilan, yang berwenang untuk menahan adalah Hakim.
Syarat-syarat untuk dapat dilakukan  penahanan  dibagi dalam 2 syarat, yaitu:
1.      Syarat  Subyektif. Dinamakan syarat subyektif karena hanya tergantung pada orang yang memerintahkan penahanan tadi, apakah syarat itu ada atau tidak. Syarat subyektif ini terdapat dalam Pasal 21 ayat (1), yaitu:
a.      Tersangka/terdakwa diduga keras melakukan tindak pidana;
b.      Berdasarkan bukti yang cukup;
c.      Dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka/terdakwa:
·         Akan melarikan diri                                                                               
·         Merusak atau menghilangkan barang bukti
·         Mengulangi tindak pidana.
         Untuk itu diharuskan adanya bukti-bukti yang cukup, berupa Laporan Polisi ditambah dua alat bukti lainnya, seperti:   Berita Acara Pemeriksaan Tersangka/Saksi,   Berita Acara ditempat kejadian peristiwa, atau barang bukti yang ada.
2.      Syarat Obyektif. Dinamakan syarat obyektif karena syarat tersebut dapat diuji ada atau tidak oleh orang lain. Syarat obyektif Ini diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP yaitu:
a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b. Tindak pidana yang ancaman hukumannya kurang dari lima tahun, tetapi  ditentukan dalam:
  • Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu:  Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1) , Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1). Pasal 372, Pasal    378, Pasal 379a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480, Pasal 506;
  • Pelanggaran terhadap Ordonantie Bea dan Cukai;
  • Pasal 1, 2 dan 4 Undang-undang No. 8 Drt Tahun 1955 (Tindak Pidana Imigrasi) yaitu antara lain: tidak  punya dokumen imigrasi yang sah, atau orang yang memberikan pemondokan atau bantuan kepada orang    asing yang tidak mempunyai dokumen imigrasi yang sah;
  • Tindak Pidana dalam Undang-undang No.9 Tahun 1976 tentang Narkotika.
Dari uraian kedua syarat tersebut yang terpenting adalah syarat obyektif sebab penahanan hanya dapat dilakukan apabila syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP itu dipenuhi. Sedangkan syarat yang terkandung dalam Pasal 21 ayat (1) biasanya dipergunakan untuk memperkuat syarat yang terkandung dalam Pasal 21 ayat (4) dan dalam hal-hal sebagai alasan mengapa tersangka dikenakan perpanjangan penahanan atau tetap ditahan sampai penahanan itu habis.
Dalam melaksanakan penahanan terhadap tersangka/ terdakwa, maka pejabat yang berwenang menahan harus dilengkapi dengan  Surat perintah penahanan dari Penyidik, Surat perintah penahanan dari Jaksa Penuntut Umum atau Surat penetapan dari Hakim yang memerintahkan penahanan itu.
Tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan Surat Perintah penahanan atau penahanan lanjutan yang berisikan Identitas Tersangka/Terdakwa, Alasan Penahanan, Uraian Singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan, dan Tempat dimana Tersangka/Terdakwa ditahan. Tembusan Surat Perintah Penahanan atau Penahanan Lanjutan atau Penetapan Hakim itu, harus diberikan kepada keluarga Tersangka/Terdakwa.
Jenis-jenis Penahanan yang diatur dalam pasal 22 ayat (1) KUHAP adalah Penahanan Rumah Tahanan Negara, Penahanan Rumah serta Penahanan Kota. Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Sedangkan Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diripada waktu yang ditentukan.
 Pengecualian dari jangka waktu penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 24, 25, 26, 27, 28 KUHAP, untuk kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka/ terdakwa dapat diperpanjang dengan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena:
  • Tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau
  • Perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana 9 tahun atau lebih (Pasal 29 ayat (1) KUHAP).
 B.        Sistem Peradilan Pidana dan HAM
Salah satu perkembangan yang menjadi isu Internasional ialah Penerapan Hak-hak Asasi Manusia, dan lazimnya Pelaksanaan Hak Asasi tersebut berkaitan erat dengan Proses Peradilan Pidana, atau juga penyalahgunaan kekuasaan dari suatu rejim Pemerintahan yang tidak lagi patuh atau dibatasi oleh hukum. Selain kekuasaan yang tak terbatas, yang menjadi perhatian pula adalah proses peradilan pidana dimanapun di dunia ini sering menjadi sorotan, baik oleh negara maju, negara berkembang ataupun suatu negara yang menganut prinsip-prinsip hukum modern, yakni hukum yang selalu mengikuti perkembangan masyarakat dan menghargai serta menjunjung tinggi harkat kemanusiaan.
Sebagaimana tercantum dalam “Law and the Behavioral Sciences”, oleh Lawrence M. Friedman dan Stewart Macaulay, halaman 122, yang berjudul: The Practice of Law as Confidence Game: Organization Coopation of a Prefession, oleh Abraham S. Blumberg, dikatakan bahwa, suatu keputusan pengadilan mungkin berlandaskan dasar pemikiran hukum, namun pada saat yang sama keputusan itu mungkin merupakan penipuan diri melalui kemungkinan-kemungkinan yang dibebankan oleh aspek-aspek dari realitas sosial dimana pembuat hukumpun tidak menyadari. Dalam hal perbaikan kondisi seperti ini, proses peradilan pidana yang seharusnya tidak boleh berpihak pada lembaga, atau siapapun selain keadilan, maka dalam proses pidana diharapkan peran serta lembaga bantuan hukum untuk ikut serta menegakkan keadilan.
Lembaga pengadilan menentukan peran bagi pengacara atau pembela dalam suatu kasus kriminil yang sangat berbeda dengan yang digambarkan secara tradisional. Para sosiolog antara lain telah memusatkan perhatian mereka pada pencabutan hak-hak dan ketidak mampuan sosial seperti ras, kesukuan, dan kelas sosial sebagai sumber dari kesalahan seorang tertuduh dalam suatu peradilan pidana. Yang lebih banyak diabaikan adalah variabel dari organisasi pengadilan itu sendiri. Organisasi itu berdasarkan nilai-nilai pragmatis, prioritas birokrasi dan administrasi. Tujuan dan disiplin organisasi membebankan serangkaian tuntutan dan kondisi praktek pada profesi masing-masing dalam peradilan pidana, dimana mereka menanggapi dengan melepaskan ideologi dan komitmen profesional mereka terhadap terdakwa yang menjadi klien mereka dalam melaksanakan tuntutan-tuntutan yang lebih tinggi dari organisasi pengadilan. Semua personel pengadilan, termasuk pengacara terdakwa cenderung dipilih menjadi “agent-mediator” yang membantu terdakwa menentukan kembali situasinya dan menyusun kembali persepsinya sejalan dengan kesalahan.

 B.        Lembaga Peradilan dan Peran Pengacara
Abraham S. Blumberg dalam “Law and the Behavioral Science (1967) menyatakan, bahwa lembaga peradilan memberi peran bagi lembaga bantuan hukum atau para pengacara pembela dalam suatu kasus kriminal. Dan para pengacara ini diberikan status khusus dan kewajibannya selain sebagai “Agent Mediator” yang membantu terdakwa menyusun kembali persepsinya sejalan dengan kesalahan.
Dari penelitian yang dilakukan bahwa para pengacara ini umumnya dibagi dua, yakni Pengacara Tetap dan pengacara Tidak Tetap. Pengacara tidak tetap kehadirannya sesuai dengan kepentingan para kliennya saja. Sedangkan pengacara yang tetap ini selalu hadir dan menjaga hubungan yang baik kepada semua tingkat personal di pengadilan sebagai upaya untuk memelihara dan membangun prakteknya.
Hubungan informalnya itu juga sebagai upaya untuk merundingkan permohonan dan hukuman. Kunci untuk memahami peran pengacara dikemukakan oleh Abraham S. Blumberg dalam kasus kriminal, ialah penetapan biaya yang ditentukan, dan pekerjaan yang berhubungan dengan hukum tidak dapat diraba karena berupa jasa sehingga seolah-olah akan tampak bahwa profesi itu tidak pantas untuk mendapat bayaran.
Tentang jumlah pembayaran merupakan suatu fungsi dari nilai suatu kejahatan, oleh sebab itu para pengacara selalu mempertahankan ketegangan dari kliennya untuk terus membangkitkan kecemasan mereka. Dengan demikian maka akan terdorong untuk segera membayar. Sehingga berakibat bahwa hubungan antara pengacara, klien dan pengacara lawannya diwarnai dengan suatu sifat permusuhan, rasa curiga, ketergantungan dan penghasutan.
Para pengacara sering pula dituduh menyebabkan jalannya perkara menjadi rumit, dan sering mereka hanya mencari kepentingan pribadi dari kliennya, dan para pengacara inipun sering menjadi agen rangkap dari klien dan juga peradilan, kemudian sebagai agen rangkap pengacara pembela melakukan misi yang benar-benar penting bagi organisai peradilan dan tertuduh. Kedua prinsip ini dimaksudkan untuk menghindari jalannya perkara, dalam hal ini hakim akan bekerjasama dengan Pengacara dalam beberapa hal penting, misalnya menangguhkan kasus terdakwa di penjara, dan menunggu pembelaan atau hukum jika pengacara meminta terdakwa yang demikian. Dengan cara ini hakim memberi kesempatan untuk agar pengacara memperoleh bayarannya. Pengacara juga bisa minta penangguhan kepada hakim. Jadi tujuan akhir dari adegan ini adalah untuk melindungi bayaran pengacara. Bahkan hakim akan menolong pengacara ini dengan meminjamkan kantor dan ruangan pengadilan (Abraham S. Blumberg, 1967: 122 – 123).
Dalam kenyataannya peran pengacara ini sangat dominan dan diperlakukan istimewa kehadirannya, suka atau tidak suka, terlebih lagi pada negara-negara yang masih mengalamii sela-sela kelemahan hukum itu. Biasanya para pengacara kebanyakan meminta bayaran di muka sebagai biaya operasional. Dan juga selalu mengatakan pada kliennya untuk bersiap-siap menerima kekalahan setelah mendapatkan bayaran tersebut.

C.         Beberapa Model dalam Proses Peradilan Pidana

Herbert L. Packer dalam bukunya yang terkenal “The Limits of the Criminal Sanction (1968); mengemukakan bahwa ada dua model dalam Sistem Peradilan Pidana, yaitu Crime Control Model (CCM), dan Due Process Model (DPM). Kedua model tersebut di atas yang disoroti adalah sebuah usaha yang memberi petunjuk operasional terhadap kompleksnyanilai-nilai yang mendasarinya. Hukum pidana sebagaimana disarankan oleh Packer adalah untuk menentukan dua sistem nilai yang berlawanan, yakni suatu ketegangan dari yang terlibat dalam hal ini, yaitu para pembuat undang-undang, hakim polisi, pengacara dan penuntut umum, dimana masing-masing nilai menjadi gambaran bagi pihak yang terlibat dan selalu bertentangan pada setiap gerak sesuai dengan waktu dan tokoh yang diwakili pada tiap proses kriminal itu. Adapun nilai-nilai tersebut merupakan suatu alat bantu analisis dan pertentangan kedua model itu tidak absolut dan merupakan abstraksi dari masyarakat Amerika, serta merupakan suatu cara pemeriksaan tentang bagaimana suatu perundang-undangan itu berjalan atau diterapkan dalam Peradilan Pidana di Amerika (Packer, 1968: 197).
Kedua model tersebut di atas oleh Packer bukanlah label dari Das Sollen dan Das Sein, tetapi diartikan sebagai suatu hal yang mana baik dan tidak baik atau ideal, kedua model ini sebagai cara untuk memudahkan, bila membicarakan tentang tata kerja suatu proses yang dalam pelaksanaan sehari-hari melibatkan suatu rangkaian yang terjadi dalam proses peradilan pidana. Adapun nilai dasar dari kedua model itu yakni bahwa peraturan perundang-undangan itu harus ada terlebih dahulu perumusannya sebagai suatu tindak pidana yang diancam dengan pidana setiap pelanggarannya. Dan sebelum seseorang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana, maka peraturan perundang-undangan yang dibuat itu menjadi dasar utama bagi penegak hukum dalam penerapannya.
Jika ternyata terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Perundang-undangan itu, maka pelaku tindak pidana harus diproses oleh pejabat yang diberi kewenangan untuk mengabil tindakan hukum sejak tahap pengangkatan, penahanan, sampai diadakan penuntutan di pengadilan. Kemudian dari kewenangan yang diberikan itu oleh Perundang-undangan, maka aparat penegak hukum dalam mengabil tindakannya terhadap tersangka harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut. Hak tersangka harus dihormati dan perlakuan terhadapnya tidak boleh sewenang-wenang.
Hal yang penting dikemukakan oleh Packer selain beberapa asas dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana, yaitu tersangka tidak dibenarkan untuk dijadikan sebagai obyek pemeriksaan semata-mata, oleh karenanya Jaksa mempunyai kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa, karena berkenaan dengan posisinya sebagai Penuntut Umum.
Adapun ciri khas dari crime control model itu ialah sangat mengandalkan “Profesionalisme” untuk mencapai effisiensi yang tinggi. Penanganannya dengan memakai atau menggunakan Assembly Line (ban berjalan). Karena profesional yang merupakan sifatnya, maka peraturan yang bersifat formal sering dilanggar, dan kadang-kadang untuk mendapatkan barang bukti, para profesionalis ini memaksakan cara-cara illegal untuk tujuan cepat dan effisiensi.
Sehingga untuk menghindari hambatan dari proses pidana itu maka kewenangn kebijakan dari penegak hukum itu seringkali diperluas. Dan dalam kenyataannya bahwa Crime Control Model ini sering dipertentangkan sebagai kurang manusiawi dan tidak menghormati hak asasi manusia.
Kemudian model yang kedua yakni Due Process Model dengan ciri-ciri selalu menganggap penting adanya refresif kejahatan, yaitu tahap ajudicatif (dalam sidang pengadilan harus ditentukan salah tidaknya tersangka), atas dasar legal guilt. Kemudian selalu mengadakan chek and recheck (obstacle couse) dan hal ini harus diuji menurut peraturan. Ciri berikutnya adalah menghormati undang—undang. Kemudian menempatkan kedudukan yang sama bagi setiap orang di depan hukum (Quality Control). Sehingga model ini dikatakan orang lebih manusiawi dan menghormati hak asasi manusia.
Pada Due Process Model, sangat diperlukan peranan Bantuan Hukum yang dalam hal ini ialah pengacara untuk mendampingi tersangka sejak di tingkat penahanan, penangkapan, maupun tentunya di pengadilan. Sehingga para tersangka merasa tenang dalam pemeriksaan dan terhindar dari segala bentuk tekanan, paksaan dan penyiksaan. Walaupun disadari bahwa kehadiran bantuan hukum itu mengakibatkan biaya bertambah mahal dan jalannya suatu perkara menjadi agak lama. Namun di pihak lain dapat pula menjamin hak asasi manusia.
Pada model lain dari proses peradilan pidana dikemukakan oleh John Griffith dalam “The Third Model of Criminal Process” (1970, dengan terlebih dahulu mengadakan telaah dari kedua model yang dikemukakan oleh packer. Maka menurutnya bahwa kedua model itu tidak membawa pada pemahaman yang tepat mengenai masalah-masalah hukumacara pidana. Ia mengatakan bahwa Family Model itu tersebut juga sebagai model pertempuran, dengan dasar utamanya ialah untuk mendamaikan kepentingan-kepentingan yang sama. Family Model ini sangat banyak mengakui harkat dan martabat manusia dan hal itu tidak dikaitkan dengan asas Presumption of Innocent, dan pada model inipun memerlukan peran pengacara. Pada bagian lain Griffith mengemukakan suatukasus Armstead, dimana persoalannya adalah seseorang yang belum dipidana belum dinyatakan bersalah, meskipun seseorang itu dinyatakan bersalah namun harus tetap dihormati, semua orang meski berhak untuk diperlakukan baik. Di sini ada suatu perwujudan hak asasi manusia (Griffith, 1970: 359 – 383).
Untuk Indonesia yang mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia, termasuk hak asasi dari mereka yang disangka atau didakwa telah melalukan suatu tindak pidana. Dalam bidang hukum acara pidana yang berlaku, perlindungan terhadap hak asasi manusia itu telah diberikan oleh negara, misalnya dalam bentuk hak-hak-hak yang dimiliki oleh tersangka/terdakwa selama proses penyelesaian perkara pidana.









BAB IV
PENUTUP


A.                 KESIMPULAN
1.      penyelesaian perkara pidana merupakan salah satu inovasi dalam KUHAP sebagai ketentuan hukum acara pidana. Inovasi tersebut dapat bersumber kepada Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, yaitu tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang seperti diketahui, tidak saja mengandung restorasi terhadap kekuasaan kehakiman yang bebas, tetapi juga mengandung kerangka umum atau general framework dari lingkungan peradilan yang ada dengan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi dan asas-asas mengenai Hukum Acara Pidana.
2.      Salah satu hak yang diberikan kepada tersangka terdakwa dalam proses penyelesaian perkara pidana adalah hak untuk mendapatkan bantuan hukum, di samping beberapa hak lainnya seperti mendapat pemeriksaan, hak untuk diberitahukan kesalahannya, hak untuk segara diajukan ke pengadilan, hak untuk mendapatkan putusan hakim yang seadil-adilnya, hak untuk mendapat kunjungan keluarga dan lain-lain.
3.      Bila dilihat sejarah hukum acara pidana di Indonesia, dapat diketahui bahwa hak mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka/terdakwa itu telah mendapatkan pengaturannya dalam ketentuan hukum acara pidana yang lama, yaitu HIR atau yang lazim juga disebut dengan Reglemen Indonesia yang dibarui (Rbg). Dalam peraturan ini hak tersebut diatur dalam Pasal 250 dan 254, yang memberikan hak tersebut pada tersangka yang diancam dengan pidana mati serta hak tersangka untuk menghubungi pembelanya setelah berkasnya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri.
4.      Hak untuk mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka/terdakwa itu juga mendapatkan pengaturannya di dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 (Pasal 35, 36 dan 37) dan selanjutnya diatur dalam Pasal 69 – 74 KUHAP. Tentang Bantuan Hukum tersebut dikatakan dalam Pasal 69 antara lain adalah: “Penasehat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam Undang-undang”
B.                  SARAN
      Dalam kasus Pidana pihak kepolisian Polsek kecamatan palasa wajib memperhatikan apa yang seharusnya menjadi hak-hak tersangka sesuai dengan Kitab Undang-Undang Acara Pidana.