Laman

Jumat, 14 September 2012

Mencari Jati Diri



MENCARI JATI DIRI

Memang, �tidak ada yang lebih berharga selain keluarga’. Hubungan darah dan perasaan di antara anggota keluarga, membuat kita nyaman tinggal bersama mereka. Ada Mama yang memanjakan kita; Ayah yang menghidupi kita; atau perilaku adik yang menghibur kita. Itulah yang kurasakan mengenang masa kecilku.
Saat Aku duduk di kelas 6 SD, keharmonisan keluargaku mulai retak. Ayahku punya wanita idaman lain yang membuat Mama marah. Derai tawaku bersama adik yang biasanya meramaikan rumah, tergantikan pertengkaran kedua orangtuaku.
Akhirnya, orang tuaku memutuskan bercerai. Di saat aku mulai memasuki tahap remaja yang labil dan butuh bimbingan agar nggak salah langkah. Aku sangat marah dan kecewa kepada mereka.
Terjerumus ke lembah kemaksiatan
Pasca perceraian itu, aku memilih tinggal bersama Mama. Sayangnya mama terlalu sibuk bekerja hingga melupakanku. Hal ini membuatku tak betah tinggal di rumah. Naik ke kelas 2 SMP, aku minta kost. Mama belum mengizinkan. Aku pun dititipkan di rumah nenek. Tinggal bersama nenek, hanya bertahan sebulan. Sebab nenek melarangku pulang lebih dari maghrib. Padahal Aku pengen bebas bermain dan berkumpul dengan teman sebaya. Kondisi ini malah semakin menguatkanku untuk kost.
Mama mengabulkan permintaanku. Nge-kost. Di kost-an, hanya Aku yang berstatus pelajar. Penghuni lainnya kebanyakan pengangguran dan usianya jauh lebih tua. Jiwa mudaku yang masih labil dengan mudah terpengaruh ajakan mereka untuk hidup bermalas-malasan, bebas, dan tak ber-Tuhan. Meski mereka muslim, nggak ada agenda shalat lima waktu dalam kesehariannya. Salah satu di antara mereka yang menjadi preman pernah bilang “buat apa sekolah? Abang aja yang cuma lulus SMP bisa begini (jadi preman). Nanti kalo kamu ada apa-apa, bilang aja ke Abang. Ntar Abang belain�.
Karena merasa dibeking oleh preman, aku jadi jagoan di antara teman-temanku. Cari musuh, tawuran dengan pelajar dari sekolah laen atau malak adek kelas jadi agenda sehari-hari. Sampe-sampe aku punya senjata andalan berbentuk sabuk yang ujungnya dipasang roda bergerigi tempat rantai sepeda dan kopal (gesper besar pada sabuk yang sering dipake tentara) yang kerap memakan korban saat tawuran.
Kehidupan sekolahku makin nggak karuan. Belajar hanya di sekolah. Itupun kalo lagi �insyaf’ bertahan setengah hari. Habis itu, aku lebih senang mabal, nongkrong, atau maen PS. Kalo lagi males sekolah, aku paling jago memalsukan surat izin sakit. Dan pihak sekolah percaya aja sebab mereka mengenalku sebagai siswa baik.
Di tempat kost, aku pun mulai berani berpacaran dan taqrabu zina. Meski aku masih bisa menolak ajakan penguni kost lain untuk ikut nenggak minuman keras atau pake narkoba, tapi sulit bagiku menolak ajakan untuk menjalani kehidupan malam di pub, diskotik, dan tempat permainan bilyar.
Jalan merengkuh hidayah
Kehidupanku yang nggak beraturan membuat kondisi badanku rapuh. Aku pun jatuh sakit terserang gejala typus. Badanku yang lincah dan pandai mengecoh intel saat pengejaran para pelajar yang terlibat aksi tawuran, kini lemah tak berdaya. Keangkuhanku kudu tunduk akan keMaha-Besaran sang Pencipta.
Mama menjengukku di tempat kost. Satu moment yang kurindukan dari dulu. Mama kaget melihat kondisi kamarku yang lebih buruk dari kapal pecah atau tempat sampah. Berantakan. Abu rokok, puntung rokok, dan asbak berseliweran. Mama makin terperanjat saat menemukan senjata tawuran dalam lemari pakaianku. Ada guratan kekecewaan di wajah cantik Mama.
Mama berkonsultasi dengan guru Agama di sekolah. Menceritakan kondisiku yang bertolak belakang dengan label anak baik bin alim di mata pihak sekolah. Guru pun menyarankan agar aku tinggal di pondok pesantren yang kebetulan letaknya di depan sekolahku. Aku menolak permintaan Mama. Aku sudah merasa enjoy hidup dengan teman-teman preman dan anak-anak berandalan di tempat kostku. Tapi Mama memohon hingga memelas dan berurai air mata. Aku paling tidak bisa terima jika Mama menangis. Apalagi karena aku. Aku pun bersedia memaksakan diri menjadi santri.
Kehidupan di ponpes begitu asing bagiku. Kudu bangun pagi-pagi, mandi ngantri, shalat shubuh, mengkaji Islam, shalat malam, sampe piket masak. Sulit rasanya mengikuti ritme kegiatan di rumah syurga itu. Untuk shalat aja aku malas, apalagi ikut kajian Islam. Yang lebih parah, ketika aku dapet giliran masak untuk semua penghuni. Bingung. Akhirnya satu-satunya kemampuanku mengolah mie rebus kuperagakan dengan mencampur beberapa bahan sayuran yang tersedia di halaman ponpes. Rasanya? wallahu?alam bish shawab deh.
Kondusivitas suasana ponpes untuk mengenal Islam lebih dalam, sedikit banyak mulai mempengaruhiku. Diriku seolah terhenyak ketika sang ustadz mengajukan beberapa pertanyaan sederhana: dari mana kita? Untuk apa kita hidup di dunia? Setelah dari dunia kita mau ke mana?
Aku mulai menyadari segala kekeliruanku selama ini. Memaknai hidup sebatas hura-hura, pesta-pora, dan mengejar kesenangan duniawi. Mengacuhkan peran malaikat Raqib dan Atid yang mencatat setiap amal perbuatan kita sehari-hari. Melupakan kehidupan akhirat yang menjadi tempat pertanggung jawaban perilaku kita di dunia. Yang lebih parah, merasa keberadaan Allah Swt., Surga, dan Neraka hanya omong kosong. Ya Allah .ampunilah segala kesombonganku selama ini.
Kini, aku tengah menjalani kehidupan baruku sebagai pejuang dan pembela Islam di sebuah sekolah kejuruan kimia. Tekadku sudah bulat. Hidup mulia dengan selalu berusaha terikat pada aturan Islam. Terima kasih buat Mama yang telah memaksaku hengkang dari dunia penuh maksiat. Semoga Allah swt menunjukkan hidayah pada Mama sehingga bisa segera menggapai ampunan-Nya. Seperti diriku.
Buat temen-temen, cukup aku saja yang melewati jalan panjang mencari jati diri. Jangan sia-siakan masa muda kita. Renungkanlah tiga pertanyaan sederhana di atas. Songsonglah forum-forum kajian Islam. Sebelum pintu tobat tertutup. Sebab kita tidak akan pernah tahu, kapan malaikat Ijroil datang menjemput kita. Bisa esok, lusa, atau saat kita membaca kisah ini. [seperti yang diceritakan Aldo pada Hafidz]

Budaya Organisasi



BUDAYA ORGANISASI
Organisasi merupakan hal yang tidak mungkin terlepas dari kehidupan bermasyarakat. Karena dari semenjak lahir secara langsung kita sudah dikenalkan dengan organisasi yaitu keluarga.  Dalam organisasi tersebut  tidak mungkin juga terlepas dari ikatan budaya yang ada dalam organisasi. Ikatan budaya yang tercipta dalam organisasi tersebut dapat tercipta dan dibentuk oleh masyarakat yang bersangkutan, baik dalam organisasi bangsa, bisnis maupun bangsa. Budaya membedakan masyarakat satu dengan yang lain dalam cara berinteraksi dan bertindak menyelesaikan suatu pekerjaan. Budaya mengikat anggota kelompok masyarakat menjadi satu kesatuan pandangan yang menciptakan keseragaman berperilaku atau bertindak. Seiring dengan bergulirnya waktu, budaya pasti terbentuk dalam organisasi dan dapat pula dirasakan manfaatnya dalam memberi kontribusi bagi efektivitas organisasi secara keseluruhan.

Definisi Budaya Organisasi
Pada hakikatnya, budaya organisasi memiliki nilai baik bagi kemajuan suatu organisasi dimana budaya organisasi merupakan salah satu perangkat manajemen untuk mencapai tujuan organisasi. Namun, budaya organisasi bukan merupakan cara yang mudah bagi suatu organisasi untuk memperoleh keberhasilan, dibutuhkan strategi yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu andalan daya saing organisasi. Jadi dapat dikatakan bahwa budaya organisasi merupakan sebuah konsep sebagai salah satu kunci keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya.
Secara etimologis (asal-usul kata), budaya organisasi terdiri dari dua kata, yakni budaya dan organisasi.
         Organisasi merupakan suatu sistem yang mapan dari sekumpulan orang yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, melalui suatu jenjang kepangkatan & pembagian.
Unsur-unsur organisasi:
1.      Kumpulan orang
2.      Kerjasama
3.      Tujuan Bersama
4.      Sistem Koordinasi
5.      Pembagian tugas dan tanggung jawab
6.      Sumber daya organisasi
         Budaya adalah suatu set nilai, penuntun kepercayaan akan suatu hal, pengertian & cara berpikir yang dipertemukan oleh para anggota organisasi & diterima oleh anggota baru.
Unsur-unsur Budaya:
1.      Ilmu Pengetahuan
2.      Kepercayaan
3.      Seni
4.      Moral
5.      Hukum
6.      Adat-istiadat
7.      Perilaku/kebiasaan (norma) masyarakat
8.      Asumsi dasar
9.      Sistem Nilai
10.  Pembelajaran / Pewarisan
11.  Masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal

        Jadi Budaya Organisasi merupakan penerapan nilai-nilai dalam suatu masyarakat yang terkait, bekerja di bawah naungan suatu organisasi. (Duncan dalam Kasali, 1994: 108)

Banyak hal yang dapat menggambarkan tentang definisi dari budaya birokrasi. Setiap orang biasanya memiliki pandangan yang berbeda tentang apa makna dari budaya organisasi. Dalam konteks masyarakat, budaya biasanya didefinisikan sebagai nilai-nilai, norma-norma, kepercayaan-kepercayaan, sikap atau sesuatu yang diyakini (attitude), dan simbol-simbol.

Berikut adalah definisi budaya organisasi menurut para tokoh :
a.       Wood, Wallace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, Osborn (2001:391)
Budaya Organisasi adalah sistem yang dipercayai dan nilai yang dikembangkan oleh organisasi dimana hal itu menuntun perilaku dari anggota organisasi itu sendiri.
b.      Tosi, Rizzo, Carroll seperti yang dikutip oleh Munandar (2001:263)
Budaya Organisasi adalah cara-cara berpikir, berperasaan dan bereaksi berdasarkan pola-pola tertentu yang ada dalam organisasi atau yang ada pada bagian-bagian organisasi.
c.       Robbins (1996:289)
Budaya Organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu.
d.      Schein (1992:12)
Budaya Organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh organisasi untuk bertindak dan memecahkan masalah, membentuk karyawan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota organisasi. Untuk itu harus diajarkan kepada anggota termasuk anggota yang baru sebagai suatu cara yang benar dalam mengkaji, berpikir dan merasakan masalah yang dihadapi.
e.       Cushway dan Lodge (GE : 2000)
Budaya Organisasi merupakan sistem nilai organisasi dan akan mempengaruhi cara pekerjaan dilakukan dan cara para karyawan berperilaku. Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan budaya organisasi dalam penelitian ini adalah sistem nilai organisasi yang dianut oleh anggota organisasi, yang kemudian mempengaruhi cara bekerja dan berperilaku dari para anggota organisasi.

f.        Peter F. Drucker
Budaya Organisasi adalah pokok penyelesaian masalah-masalah ekternal dan internal yang pelaksanaannya dilakukan secara konsisten oleh suatu kelompok yang kemudian mewariskan kepada angota-anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan, dan merasakan terhadap masalah-masalah terkait sepeti di atas.
g.      Phithi Sithi Amnuai
Budaya Organisasi adalah seperangkat asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota-angota organisasi, kemudian dikembangkan dan diwariskan guna mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal dan masalah-masalah integrasi internal.

Budaya Organisasi merupakan hal yang penting
Budaya Organisasi menjadi salah satu instrument yang penting dalam jalannya suatu organisasi agar tujuan organisasi dapat tercapai dengan efektif sesuai dengan harapan. Dengan ada budaya yang luas memberikan pengaruh yang kuat terhadap struktur dan fungsi organisasi. Dan setiap organisasi memiliki budaya organisasi yang berbeda-beda sekalipun mereka menjalankan fungsi yang sama. contohnya adalah bisa saja terdapat Satu organisasi yang lebih otoritarian atau demokratis dibanding dengan organisasi lainnya. Ada juga organisasi yang sangat terikat peraturan bahkan hanya berpedoman pada peraturan informal, dapat memberikan inovatif dan inspirasi terhadap perubahan atau menolak perubahan, dan bahkan tidak dapat beradpatasi dengan lingkungan sekitar. Selain itu, ada juga organisasi yang bisa menerima keragaman atau anti-keragaman atau bisa membawa atmosfer yang bersahabat atau tidak bersahabat sehingga berpengaruh kepada lingkungan internal ataupun eksternalnya.


Tiga pendekatan dalam mempelajari birokrasi.

            Setiap organisasi bahkan setiap orang-orang yang terlibat dalam organisasi dapat memiliki interprestasi yang berbeda-beda tentang budaya organisasi mereka. Perbedaan interpretasi budaya tersebut dapat dilihat dari tiga pendekatan, yaitu :
a.      Perspektif Integrasi
Anggota organisasi tahu betul dan tahu persis prinsip dasar yang menjadi budaya organisasi tempat mereka bernaung sehingga mereka tahu bagaimana harus berperilaku yang benar dan menunjang tujuan organisai yang ada.
Contoh : Jika karyawan rajin atau berprestasi maka gaji karyawan tersebut akan naik atau mendapat bonus. (reward and punishment)

b.     Perspektif  Perbedaan
Dalam perspektif ini mengakui ada perbedaan interpretasi budaya organisasi atau bahkan variasi budaya di dalam organisasi yang mencerminkan adanya kelompok kepentingan yang  berbeda dalam suatu organisasi. Dalam hal ini mengakibatkan bisa terjadi perselisihan antara departemen yang satu dengan departemen yang lain dalam satu organisasi.
Contohnya : Manajer dapat memiliki pemahaman/pendapat yang berbeda dengan bawahan mengenai sikap tidak berat sebelah (fairness) dan tanggung jawab.

c.      Perspektif  Fragmentasi
Perspektif perbedaan tidak melihat ada konsensus di tingkat organisasi, yang ada hanya konsensus di tingkat subkultur dan pandangan ini cenderung menekankan bagaimana kelompok bawahan melihat organisasi untuk membedakan dengan pandangan integrasi. Perspektif ini sering digunakan untuk meneliti konflik dan keengganan yang tidak muncul dalam penelitian organisasi yang menekankan kerja tim, harmoni, dan kerja sama

Sumber-sumber Budaya Organisasi
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai suatu organisasi. Menurut Tosi, Rizzo, Carrol terdapat berbagai factor yang mempengaruhi organisasi, yaitu:
1.      Pengaruh umum dari luar yang luas
Mencakup faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan atau hanya sedikit dapat dikendalikan oleh organisasi.
2.      Pengaruh dari nilai-nilai yang ada di masyarakat
Keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai yang dominan dari masyarakat luas misalnya kesopansantunan dan kebersihan.
3.      Faktor-faktor yang spesifik dari organisasi
Organisasi selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam mengatasi baik masalah eksternal maupun internal organisasi akan mendapatkan penyelesaian-penyelesaian yang berhasil. Keberhasilan mengatasi berbagai masalah tersebut merupakan dasar bagi tumbuhnya budaya organisasi.
Fungsi Budaya Organisasi
Dengan adanya budaya organisasi yaitu dengan adanya nilai-nilai yang dimengerti,  ditanamkan, dan dilakukan oleh pelaku organisasi budaya organisasi dapat memberikan manfaat yang baik bagi jalannya suatu organisasi agar dapat terus berjalan dengan produktif dan memberikan perkembangan yang positif dari hari ke hari.
Menurut Stephen P. Robbins, budaya organisasi membawa manfaat bagi organisasi, yaitu :
a.       Budaya Organisasi menciptakan sesuatu pembedaan yang jelas antara organisasi yang satu degan yang lain.
b.      Budaya Organisasi membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
c.       Budaya Organisasi mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual seseorang.
d.      Budaya Organisasi merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan.
e.       Budaya Organisasi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.

Ciri-ciri Budaya Organisasi
7 ciri-ciri budaya organisasi menurut Robbins (1996:289), yaitu :
a.      Inovasi dan pengambilan resiko.
Sejauh mana karyawan didukung untuk menjadi inovatif dan mengambil resiko. Rela berkorban untuk memberikan yang terbaik bagi organisasi dan dapat menciptakan Sesuatu hal yang baru dalam menghadapi ketidakpastian lingkungan.  Perusahaan berorientasi bagi para pengambil resiko dan inovator, perusahaan juga berorientasi pada hasil yang dicapai oleh karyawan, perusahaan juga lebih menyukai karyawan yang agresif. Perusahaan cenderung untuk mencari orang-orang berbakat dari segala usia dan pengalaman, perusahaan juga menawarkan insentif finansial yang sangat besar dan kebebasan besar bagi mereka yang sangat berprestasi.
b.     Perhatian terhadap detail
Sejauh mana karyawan diharapkan menunjukkan kecermatan, analisis dan perhatian terhadap detail. Dimana diperlukan karyawan yang handal dan memiliki kompetensi dalam memberikan perhatian kepada masalah-masalah yang perlu ditangani dengan lebih serius. Perusahaan suka merekrut para lulusan muda universitas, memberi mereka pelatihan istimewa, dan kemudian mengoperasikan mereka dalam suatu fungsi yang khusus. Perusahaan lebih menyukai karyawan yang lebih cermat, teliti, dan mendetail dalam menghadapi dan memecahkan suatu masalah.


c.      Orientasi hasil.
Sejauh mana manajemen memfokus pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut. (hasil yang didapat harus sesuai dengan harapan, misalnya jumlah output dan waktu terselesaikan output yang hendak di hasilkan).
d.     Orientasi orang.
Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek pada orang-orang di dalam organisasi itu. apakah keputusan manajemen tersebut berpengaruh langsung atau tidak langsung terhadap pelaku organisasi.
e.      Orientasi tim.
Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim yaitu diperlukan kerjasama dalam melaksanakan tugas bersama untuk mendapatkan hasil yang maksimal. bukannya individu. Perusahaan lebih condong ke arah orientasi orang dan orientasi tim dimana perusahaan memberi nilai tinggi pada karyawan yang dapat menyesuaikan diri dalam sistem organisasi. Perusahaan juga menyukai karyawan yang setia dan mempunyai komitmen yang tinggi serta mengutamakan kerja sama tim.
f.        Keagresifan.
Berkaitan dengan agresivitas karyawan, yaitu semangat dan spirit karyawan dalam melakukan suatu pekerjaan.
g.      Kemantapan.
Organisasi menekankan dipertahankannya budaya organisasi yang sudah baik.
Menurut Sonnenfield banyak perusahaan tidak dapat dengan rapi dikategorikan dalam salah satu dari empat kategori karena merek memiliki suatu paduan budaya atau karena perusahaan berada dalam masa peralihan.
Dengan menilai organisasi itu berdasarkan tujuh karakteristik ini, akan diperoleh gambaran majemuk dari budaya organisasi itu. Gambaran ini menjadi dasar untuk perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi itu, bagaimana urusan diselesaikan di dalamnya, dan cara para anggota berperilaku (Robbins, 1996 : 289).
Selain itu dapat dilihat bahwa Budaya Organisasi merupakan sistem nilai yang diyakini dan dapat dipelajari, dapat diterapkan dan dikembangkan secara terus menerus. Budaya Organisasi juga berfungsi sebagai perkat, pemersatu, identitas, citra, brand, pemacu-pemicu (motivator ), pengengmbangan yang berbeda dengan organisasi lain yang dapat dipelajaridan diwariskan kepada generasi berikutnya, dan dapat dijadikan acuan prilaku manusia dalam organisasi yang berorientasi pada pencapaian tujuan atau hasil/target yang ditetapkan.

Budaya Organisasi dengan Efektivitas Organisasi

Robbins (1990: 49) mendefinisikan efektifitas organisasi sebagai suatu tingkat dimana suatu organisasi dapat merealisasikan tujuannya. Ada beberapa pendekatan untuk mengukur keefektifan suatu organisasi, yaitu Pendekatan tradisional digunakan untuk mengukur efektivitas organisasi individual dalam rangka untuk mempertemukan kemampuan dan tujuan organisasi tersebut dalam setiap bidang yang khusus. Namun pendekatan tersebut memiliki kelemahan dalam mengakomodasikan kepentingan interdivisional.
Namun pendekatan tradisional dapat diatasi dengan beberapa model yaitu model kontijensi (Burrell dan Morgan: 1979), model populasi ekologi (Aldrich: 1979), model ekonomi politik (Nord: 1983), model sistem (Weick dan Daft: 1983), dan model hirarki analitis (Chan dan Lynn: 1993).
Robbins (1990:50) mengutip beberapa kriteria efektivitas organisasi, beberapa kriteria tersebut diantaranya tidak mudah untuk diukur secara kuantitatif, misalnya kepuasan, motivasi, dan moral.
Kaplan dan Norton (1992, 1993, 1996) menemukan suatu model yang memberikan alternatif untuk perbaikan dalam pengukuran efektitivitas organisasi atau kinerja organisasi yang dikenal dengan balanced scorecard yang menggunakan pengukuran internal maupun eksternal, kuantitatif maupun kualitatif.
Robbins (1990:53) mengklasifikasikan empat pendekatan dalam mempelajari efektifitas organisasi, yaitu:
a.      Pendekatan Pencapaian Tujuan (The Goal Attainment Approach).
Pendekatan ini menunjukkan bahwa suatu efektifitas organisasi dinilai lebih pada kaitannya dengan tujuan akhir daripada dengan prosesnya (jadi dalam hal ini para pelaku organisasi mengetahui apa sebenarnya tujuan akhir dari organisasi, adanya shared value yang si sosialisasikan dengan baik dari individu yang satu terhadap individu yang lain dalam suatu organisasi). Kriteria yang umum digunakan dalam pendekatan ini adalah maksimasi laba. Dengan demikian asumsi yang digunakan dalam pendekatan ini seluruh kriteria yang digunakan harus dapat diukur (measureable).
b.     Pendekatan Sistem (The System Approach).
Pendekatan ini tidak menekankan pada tujuan akhir tetapi memasukkan seluruh kriteria dalam satu element dan masing-masing akan saling berinteraksi. Pendekatan sistem ini menekankan pada kelangsungan hidup organisasi untuk jangka waktu panjang.
c.      Pendekatan Konstituen Strategis (The Strategic-Constituencies).
Pendekatan ini menunjukkan bahwa organisasi yang efektif adalah organisasi yang dapat memuaskan keinginan para konstituen dalam lingkungannya. Masing-masing konstituen tersebut mempunyai keinginan yang berbeda-beda. Karena itu diperlukan budaya organisasi yang baik agar keinginan konstituen dapat terlaksana, budaya organisasi yang diketahui dan dipahami oleh setiap pelaku organisasi, sehingga dalam melakukan setiap tugas dan kewenangan selalu berpegang kepada budaya organisasi yang ada. Pemilik berkeinginan untuk memperoleh return on investment yang tinggi, karyawan akan menginginkan kompensasi yang memadai, pelanggan menginginkan kemampuan membayar hutang, demikian juga dengan pihak-pihak lainnya akan mempunyai keinginan yang unik.
d.     Pendekatan nilai-nilai persaingan (The Competing-Value Approach).
Pendekatan ini menawarkan suatu kerangka yang lebih integrative dan lebih variatif, karena kriteria yang dipilih dan digunakan tergantung pada posisi dan kepentingan masing-masing dalam suatu organisasi. Sehubungan dengan tingkat variatif yang relative tinggi, maka terdapat tiga perangkat dasar nilai-nilai, yaitu: 1) fleksibilitas versus pengendalian, 2) manusia versus organisasi, 3) proses versus tujuan akhir. Berdasarkan tiga perangkat dasar tersebut dapat digambarkan empat model nilai-nilai efektivitas, yaitu human rational model, open system model, rational goal.

Pembentukan Budaya Organisasi (Sutanto, 1997: 13)
Rounded Rectangle: Filsafat Pendiri Organisasi

Penjelasan:
Ø  Filsafat pendiri organisasi merupakan sumber utama sebuah budaya organisasi. Artinya para pendiri organisasi secara tradisional mempunyai dampak yang penting dalam pembentukan budaya wal organisasi. Mereka memiliki visi & misi mengenai bagaimana bentuk organisasi tersebut seharusnya. (Robbins, 1990: 486).
Adapun tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut:
·   Seseorang mempunyai gagasan untuk mendirikan organisasi.
·   Ia menggali dan mengarahkan sumber-sumber baik orang yang sepaham dan setujuan  dengan dia (SDM), biaya dan teknologi.
·   Mereka meletakan dasar organisasi berupa susunan organisasi dan tata kerja.
Contoh, Ray Kroc dengan McDonald-nya. Sejak dirintis pada tahun 1955 sampai dengan abad 21 ini, pegawai McDonald seolah masih “diawasi” Kroc dengan prinsip-prinsip dasar organisasinya. Misalkan komitmen terhadap kualitas pelayanan, kebersihan & nilai. Juga penggunaan bumbu & peralatan yang baik, kebersihan kamar mandi, dan jangan kompromi. Inilah filosofi pendiri penjual hamburger, fries & shakes yang masih diikuti sbg pedoman manajemen.
Sekali Budaya itu ada, akan terdapat kekuatan-kekuatan dalam organisasi yang bertindak untuk mempertahankannya dengan cara memberikan sejumlah pengalaman yang sama kepada para pegawai. Ketiga kekuatan yang mempertahankan budaya organisasi ialah sebagai berikut:
1.      Seleksi untuk menentukan kriteria yang dianggap paling tepat untuk menjadi anggota organisasi. Ini merupakan kekuatan dalam mempertahankan budaya organisasi. Tujuan utama dari proses seleksi adalah menemukan & mempekerjakan individu yg memiliki pengetahuan, kepandaian & kemampuan untuk berprestasi dalam pekerjaan di dalam organisasi.
Dalam proses seleksi ini, ketika terdapat banyak calon yang memenuhi criteria, maka pengambil keputusan akan menentukan siapakah yang nantinya akan dipekerjakan berdasarkan pertimbangan tentang sejauh mana calon-calon tersebut akan cocok dengan organisasinya. Selain itu, proses seleksi ini juga member informasi kepada para pelamar mengenai organisasi itu, dan jika mereka merasakan adanya konflik antara nilai mereka dengan nilai organisasi tersebut, maka mereka dapat mengundurkan diri dari pencalonannya. Sehingga, proses seleksi tersebut, menyaring individu yang mungkin akan menyerang atau mengacaukan nilai-nilai intinya.

2.      Manajemen puncak menunjukkan pada perilaku & tindakan dari manajemen puncak akan berpengaruh terhadap budaya organisasi. Para pegawai memperhatikan perilaku manajemen dimana kejadian-kejadian yang diamati oleh para pegawai dalam kurun waktu tertentu dapat menetapkan norma-norma yang kemudian meresap ke bawah melalui organisasi. Adanya sosok Leadership sebagai panutan dalam bertindak merupakan cara untuk mempertahankan Budaya Organisasi yang telah ada.

3.      Proses sosialisasi merupakan langkah yang tepat untuk mempertahankan budaya organisasi, terutama sosialisasi yang ditujukan bagi anggota baru untuk menyesuaikan diri dengan budayanya. Seluruh anggota organisasi seharusnya mengetahui & memahami mengenai terbentuknya budaya organisasi, pentingnya bagi kemajuan organisasi, termasuk bagi pengembangan dirinya. Sebuah organisasi akan selalu mensosialisasi setiap pegawai selama kariernya. Namun sosialisasi yang paling eksplisit ialah ketika organisasi mencoba membentuk orang luar/orang baru untuk menjadi seorang pegawai “yang berkedudukan baik”. Dalam proses tersebut, mereka diberitahu mengenai bagaimana hal tersebut dilakukan disini.

Model Sosialisasi Budaya Organisasi
Sumber : Djokosantoso Moeljono, Cultured! Budaya Organisasi Dalam Tantangan, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2005), hlm 9
Proses terbentuknya budaya organisasi ditentukan oleh beberapa hal yakni:
1.      Lingkungan usaha, lingkungan di tempat perusahaan itu beroperasi akan menentukan apa yang harus dikerjakan oleh perusahaan untuk mencapai keberhasilan.
2.      Nilai-nilai merupakan konsep dasar dan keyakinan suatu organisasi
3.      Panutan atau keteladanan, orang-orang yang menjadi panutan atau teladan karyawan-karyawan lainnya karena keberhasilan.
4.      Upacara-upacara, acara-acara rutin yang diselenggarakan oleh perusahaan dalam rangka memberikan penghargaan kepada karyawannya.
5.      Network, jaringan komunikasi informal dalam perusahaan yang dapat menjadi sarana penyebaran nilai-nilai organisasi.

Budaya asli diturunkan dari filsafat pendirinya, selanjutnya budaya ini akan mempengaruhi criteria yang akan digunakan dalam memperkerjakan karyawan. Tindakan dari manajemen puncak akan menentukan iklim umum dari perilaku yang dapat diterima atau tidak. Manajemen puncak juga menentukan cara karyawan mengalami sosialisasi, baik dalam hal mencocokkan nilai-nilai karyawan baru dengan nilai-nilai organisasi, maupun pada preferensi manajemen puncak akan metode sosialisasi.

Mengelola Budaya Organisasi
Salah satu permasalahan pokok dari budaya organisasi adalah pengelolaan budaya organisasi. Jika kita membicarakan tentang mengelola budaya, kita maksudkan mengubah budaya tersebut. Ini telah menjadi definisi sekarang yang berlaku.
Mengubah budaya sebuah organisasi bukanlah sebuah pekerjaan mudah, karena memang memerlukan cara mengukur budaya organisasi dalam hubungannya dengan perubahan organisasi. Schwartz dan Davis merancang sebuah cara pengukuran budaya dalam hal deskripsi bagaimana tugas – tugas manajemen ditangani dalam skala perusahaan dan hubungan antara atasan bawahan, rekan kerja dan antar bagian agar dapat dinilai tingkat kesesuaian budaya dengan setiap rencana perubahan strategis.
Merubah Budaya
Banyak model perubahan terencana, salah satunya adalah enam langkah perubahan efektif yang diajukan oleh Beer:
1. Mobilisasi komitmen pada perubahan melalui diagnosa bersama atas masalah – masalah   bisnis
2. Kembangkan visi bersama tentang bagaimana cara mengorganisasi dan mengelola agar memperoleh keunggulan bersaing
3. Perkuat konsensus pada visi baru, kompetensi untuk mewujudkannya dan kohesi untuk menggerakkannya
4. Sebarkan revitalisasi pada semua bagian tanpa harus memaksakannya dari atas
5. Lembagakan revitalisasi melalui kebijakan, system dan struktur formal
6. Monitor dan sesuaikan strategi dalam merenpon masalah dalam proses revitalisasi

Dua elemen terpenting dalam menciptakan perubahan budaya organisasi adalah dukungan eksekutif dan pelatihan.
- Dukungan eksekutif: eksekutif dalam organisasi harus mendukung perubahan budaya, selain dukungan verbal. Mereka harus menunjukkan dukungan perilaku untuk perubahan budaya. Eksekutif harus memimpin perubahan dengan merubah perilaku mereka. Ini sangat penting bagi para eksekutif untuk mendukung perubahan secara konsisten.
- Pelatihan: perubahan budaya tergantung pada perubahan perilaku. Anggota organisasi harus memahami dengan jelas apa yang diharapkan dari mereka, dan harus tahu bagaimana melakukan kebiasaan baru, setelah ditentukan. Training bisa jadi sangat berguna baik untuk mengkomunikasikan harapan dan mengajarkan kebiasaan baru .

Komponen penting lainnya dalam perubahan budaya organisasi adalah :
1. Menciptakan pernyataan nilai dan kepercayaan: gunakan fokus karyawan pada kelompok, dengan departemen untuk meletakkan misi, visi, dan nilai-nilai kedalam kata-kata yang menyatakan pengaruh di masing-masing pekerjaan karyawan. Untuk satu pekerjaan, karyawan menyatakan : "Saya menghidupkan nilai kualitas perawatan pasien dengan mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang diucapkan pasien." Latihan ini akan memberikan pemahaman umum terhadap budaya yang diinginkan yang sebenarnya merefleksikan tindakan yang harus dipenuhi dalam pekerjaan mereka.
2. Mempraktekkan komunikasi yang efektif: membuat semua karyawan mendapatkan informasi terkait dengan proses perubahan budaya organisasi memastikan akan komitmen dan keberhasilan. Dengan mengatakan pada karyawan apa yang diharapkan dari mereka adalah penting untuk perubahan budaya organisasi yang efektif.
3. Review struktur organisasi: perubahan struktur organisasi secara fisik untuk memenuhi keinginan budaya organisasi yang diperlukan. Misalnya, dalam perusahaan kecil, empat unit bisnis yang berbeda berkompetisi dalam hal produk, pelanggan, dan sumber dukungan internal, mungkin tidak akan mendukung penciptaan budaya organisasi yang efektif. Unit-unit ini seperti tidak mendukung kesuksean bisnis secara keseluruhan.
4. Desain ulang pendekatan terhadap reward dan pengakuan: mengubah sistem reward untuk mendorong perilaku penting yang diinginkan dalam budaya organisasi.
5. Review semua sistem kerja, seperti promosi karyawan, manajemen kinerja, dan pemilihan karyawan untuk memastikan mereka sesuai dengan budaya yang diinginkan. Misalnya, organisasi tidak bisa memberikan reward kinerja individu jika persyaratan budaya organisasi menentapkan team work. Bonus total eksekutif tidak bisa digunakan sebagai reward sasaran departemennya tanpa mengenali pentingnya peran dia dalam tim eksekutif untuk mencapai tujuan organisasi.
Merubah budaya organisasi memerlukan waktu, komitmen, perencanaan dan pelaksanaan yang tepat - tapi ini bisa dilakukan .







DAFTAR PUSTAKA


ISSN: 1410 – 2420 Chairumam Armia, Pengaruh Budaya terhadap Efektifitas Organisasi: Dimensi Budaya … 114 JAAI VOLUME 6 NO. 1, JUNI 2002.
Robbins, Stephen P. Teori Organisasi: Struktur, Desain, dan Aplikasi. 1994. Penerbit Arcan.