MENCARI
JATI DIRI
Memang,
�tidak ada yang lebih berharga selain keluarga’. Hubungan darah dan
perasaan di antara anggota keluarga, membuat kita nyaman tinggal bersama
mereka. Ada Mama yang memanjakan kita; Ayah yang menghidupi kita; atau perilaku
adik yang menghibur kita. Itulah yang kurasakan mengenang masa kecilku.
Saat
Aku duduk di kelas 6 SD, keharmonisan keluargaku mulai retak. Ayahku punya
wanita idaman lain yang membuat Mama marah. Derai tawaku bersama adik yang
biasanya meramaikan rumah, tergantikan pertengkaran kedua orangtuaku.
Akhirnya,
orang tuaku memutuskan bercerai. Di saat aku mulai memasuki tahap remaja yang
labil dan butuh bimbingan agar nggak salah langkah. Aku sangat marah dan kecewa
kepada mereka.
Terjerumus
ke lembah kemaksiatan
Pasca
perceraian itu, aku memilih tinggal bersama Mama. Sayangnya mama terlalu sibuk
bekerja hingga melupakanku. Hal ini membuatku tak betah tinggal di rumah. Naik
ke kelas 2 SMP, aku minta kost. Mama belum mengizinkan. Aku pun dititipkan di
rumah nenek. Tinggal bersama nenek, hanya bertahan sebulan. Sebab nenek
melarangku pulang lebih dari maghrib. Padahal Aku pengen bebas bermain dan
berkumpul dengan teman sebaya. Kondisi ini malah semakin menguatkanku untuk
kost.
Mama
mengabulkan permintaanku. Nge-kost. Di kost-an, hanya Aku yang berstatus
pelajar. Penghuni lainnya kebanyakan pengangguran dan usianya jauh lebih tua.
Jiwa mudaku yang masih labil dengan mudah terpengaruh ajakan mereka untuk hidup
bermalas-malasan, bebas, dan tak ber-Tuhan. Meski mereka muslim, nggak ada
agenda shalat lima waktu dalam kesehariannya. Salah satu di antara mereka yang
menjadi preman pernah bilang “buat apa sekolah? Abang aja yang cuma lulus SMP
bisa begini (jadi preman). Nanti kalo kamu ada apa-apa, bilang aja ke Abang.
Ntar Abang belain�.
Karena
merasa dibeking oleh preman, aku jadi jagoan di antara teman-temanku. Cari
musuh, tawuran dengan pelajar dari sekolah laen atau malak adek kelas jadi
agenda sehari-hari. Sampe-sampe aku punya senjata andalan berbentuk sabuk yang
ujungnya dipasang roda bergerigi tempat rantai sepeda dan kopal (gesper besar
pada sabuk yang sering dipake tentara) yang kerap memakan korban saat tawuran.
Kehidupan
sekolahku makin nggak karuan. Belajar hanya di sekolah. Itupun kalo lagi
�insyaf’ bertahan setengah hari. Habis itu, aku lebih senang mabal,
nongkrong, atau maen PS. Kalo lagi males sekolah, aku paling jago memalsukan
surat izin sakit. Dan pihak sekolah percaya aja sebab mereka mengenalku sebagai
siswa baik.
Di
tempat kost, aku pun mulai berani berpacaran dan taqrabu zina. Meski aku masih
bisa menolak ajakan penguni kost lain untuk ikut nenggak minuman keras atau
pake narkoba, tapi sulit bagiku menolak ajakan untuk menjalani kehidupan malam
di pub, diskotik, dan tempat permainan bilyar.
Jalan
merengkuh hidayah
Kehidupanku
yang nggak beraturan membuat kondisi badanku rapuh. Aku pun jatuh sakit
terserang gejala typus. Badanku yang lincah dan pandai mengecoh intel saat
pengejaran para pelajar yang terlibat aksi tawuran, kini lemah tak berdaya.
Keangkuhanku kudu tunduk akan keMaha-Besaran sang Pencipta.
Mama
menjengukku di tempat kost. Satu moment yang kurindukan dari dulu. Mama kaget
melihat kondisi kamarku yang lebih buruk dari kapal pecah atau tempat sampah.
Berantakan. Abu rokok, puntung rokok, dan asbak berseliweran. Mama makin
terperanjat saat menemukan senjata tawuran dalam lemari pakaianku. Ada guratan
kekecewaan di wajah cantik Mama.
Mama
berkonsultasi dengan guru Agama di sekolah. Menceritakan kondisiku yang
bertolak belakang dengan label anak baik bin alim di mata pihak sekolah. Guru
pun menyarankan agar aku tinggal di pondok pesantren yang kebetulan letaknya di
depan sekolahku. Aku menolak permintaan Mama. Aku sudah merasa enjoy hidup
dengan teman-teman preman dan anak-anak berandalan di tempat kostku. Tapi Mama
memohon hingga memelas dan berurai air mata. Aku paling tidak bisa terima jika
Mama menangis. Apalagi karena aku. Aku pun bersedia memaksakan diri menjadi
santri.
Kehidupan
di ponpes begitu asing bagiku. Kudu bangun pagi-pagi, mandi ngantri, shalat
shubuh, mengkaji Islam, shalat malam, sampe piket masak. Sulit rasanya
mengikuti ritme kegiatan di rumah syurga itu. Untuk shalat aja aku malas,
apalagi ikut kajian Islam. Yang lebih parah, ketika aku dapet giliran masak
untuk semua penghuni. Bingung. Akhirnya satu-satunya kemampuanku mengolah mie
rebus kuperagakan dengan mencampur beberapa bahan sayuran yang tersedia di halaman
ponpes. Rasanya? wallahu?alam bish shawab deh.
Kondusivitas
suasana ponpes untuk mengenal Islam lebih dalam, sedikit banyak mulai
mempengaruhiku. Diriku seolah terhenyak ketika sang ustadz mengajukan beberapa
pertanyaan sederhana: dari mana kita? Untuk apa kita hidup di dunia? Setelah
dari dunia kita mau ke mana?
Aku
mulai menyadari segala kekeliruanku selama ini. Memaknai hidup sebatas
hura-hura, pesta-pora, dan mengejar kesenangan duniawi. Mengacuhkan peran
malaikat Raqib dan Atid yang mencatat setiap amal perbuatan kita sehari-hari.
Melupakan kehidupan akhirat yang menjadi tempat pertanggung jawaban perilaku
kita di dunia. Yang lebih parah, merasa keberadaan Allah Swt., Surga, dan
Neraka hanya omong kosong. Ya Allah .ampunilah segala kesombonganku selama ini.
Kini,
aku tengah menjalani kehidupan baruku sebagai pejuang dan pembela Islam di
sebuah sekolah kejuruan kimia. Tekadku sudah bulat. Hidup mulia dengan selalu
berusaha terikat pada aturan Islam. Terima kasih buat Mama yang telah memaksaku
hengkang dari dunia penuh maksiat. Semoga Allah swt menunjukkan hidayah pada
Mama sehingga bisa segera menggapai ampunan-Nya. Seperti diriku.
Buat
temen-temen, cukup aku saja yang melewati jalan panjang mencari jati diri.
Jangan sia-siakan masa muda kita. Renungkanlah tiga pertanyaan sederhana di
atas. Songsonglah forum-forum kajian Islam. Sebelum pintu tobat tertutup. Sebab
kita tidak akan pernah tahu, kapan malaikat Ijroil datang menjemput kita. Bisa
esok, lusa, atau saat kita membaca kisah ini. [seperti yang diceritakan Aldo pada Hafidz]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar